You need to enable javaScript to run this app.

UPANAYANA : PENERIMAAN MAHASISWA BARU SECARA HINDU DI KAMPUS STAH DHARMA SENTANA SULAWESI TENGAH PADA TAHUN 2024

UPANAYANA : PENERIMAAN MAHASISWA BARU SECARA HINDU DI KAMPUS STAH DHARMA SENTANA SULAWESI TENGAH  PADA TAHUN 2024

Darsana Tv, Palu 05 September 2024 Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Sentana Sulawesi Tengah melaksanakan UPANAYANA sebagai bentuk penerimanaan Mahasiswa Baru secara Hindu. Upacara UPANAYANA ini dihadiri oleh mahasiswa baru sebanyak 120 mahasiswa dari berbagai Program Studi yakni Prodi Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Pendidikan Anak Usia Dini, dan Pariwisata Budaya dan Keagamaan. Serta tamu undangan dari berbagai keumatan yang menghadiri kegiatan ini. Upanayana dilaksana sejak pagi hari hingga siang hari dengan serangkaian ritual yang dipandu langsung oleh Ida Panditha Rsi Bhujangga Waisnawa Kesawe Lingge dan Pinanditha Guru Mangku Lastika, A.Md.

Kegiatan ini berlangsung sejak pukul 07.00 wita pagi hingga pukul 13.00 wita. Dalam pelaksanaan Upanayana ini merupakan prosesi pembersihan diri pada mahasiswa baru sebanyak 120 orang  yang mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan ini berjalan hikmat dan sangat Sakral. Menurut koordinator Upanayana ( I Wayan Mudita, SE., M.Si) dalam wawancaranya mengatakan bahwa Upanayana merupakan pewintenan saraswati sebelum memasuki dunia kerohanian  pendidikan, sebaiknya seluruh mahasiswa baru melakukan tingkatan pewintenan saraswati. Adapun  jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini sekitar 120 mahasiswa. Secara ceremonial Ida Rsi Bhujangga Waisnawe Kesawe Lingga memberikan wejangan dharma kepada mahasiwa baru.

Saat Ida Rsi Bhujagga Waisnawe Kesawe Lingga memberikan wejangan dharma kepada mahasiwa baru mengatakan bahwa secara keseluruhan Upanyana ini adalah merupakan upacara Pawintenan saraswati. Banten (sarana Upakara )dalam Upanayana memiliki peran yang sangat penting dalam persembahan, diharapkan mahasiswa dapat memulai perjalanan pendidikannya dengan penuh berkah dan mencapai kesuksesan. Banten adalah persembahan yang terdiri dari berbagai macam bahan alami seperti nasi, buahan, bunga dan daun yang disusun dengan tata cara tertentu. Banten memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam dalam agama hindu dan digunakan dalam berbagai upacara keagamaan termasuk Upanayana. Kaitannya Upanayana dan banten sebagai persembahyangan kepada dewa, simbol penyucian, sarana komunikasi dengan alam semesta, penanda dimulainya tahap baru. Jenis banten yang digunakan dalam upanayana antara lain: banten pejati, baten dapetan, Pulagembal, Pedambel dan banten canang. Karena secara filosofis pengunaan banten dalam upacara Upanayana mengandung makna yang sangat dalam serta menghormati alam, menghargai nilai-nilai spiritual dan selalu bersyukur atas segala karunia yang telah di berikan Tuhan.

Menurut Sekertaris Panitia PMB tahun 2024 I Gede Raka Mudana, S.Pd., M.Ag mengatakan bahwa Upacara Upanayana adalah upacara yang memiliki makna untuk mendekatkan diri pada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wase membersihkan diri dan mempertanjam pikiran serta menandai pendidikan formal bagi mahasiswa baru yang akan memulai perkuliahannya. Upanayana merupakan tradisi Hindu yang menandai mulainya pendidikan formal seorang anak atau mahasiswa baru sebagai simbolik dalam dunia akademik. Makna upacara Upanayana secara simbolis memiliki dua tujuan yaitu (membersihkan diri dan mempertanjam pikiran). Dengan pikiran yang tanjam siswa akan mampu lebih cepat menyerap ilmu pengetahuan proses ini di tandai dengan menantap banten, agar siswa siap menerima pegetahuan. 

Menurut Ketua Panitia Kegiatan PKKMB (Reva Sarini) mengatakan bahwa pelaksanaan Upanayana memiliki makna sakral yaitu perkenalan dalam konteks Hindu sebaia upacara menandai perkenalan seorang anak dengan dunia spritual dan pengetahuan yang lebih tinggi serta upacara ini memiliki sebagai simbolisme serta peran penting dalam spritual seorang individu. Upanayana merupakan salah satu Upacara Paling Penting dalam agama Hindu Upacara ini memiliki makna yang sangat memdalam dan kaya akan simbolis serta memainkan peran penting dalam membentuk spiritual seseorang individu.

Ketua BEM STAH DS (I Wayan Vendy Wages Candra) mengatakan bahwa upacara Upanayana yaitu sebuah upacara mempersembahkan banten, banten akan dipersembahkan pada saat tertentu seperti saat upacara penyucian diri, saat pembacaan mantra dan saat pemberian berkah. Prosesi penggunaan banten biasanya dilakukan oleh seseorang pemuka agama atau ahli dalam bidang upacara adat. Jenis Banten memiliki simbolisme tersendiri misalnya nasi tumpeng melambangkan kehidupan terus berkembang, buah-buahan melambangkan kemakmuran dan canang sari melambangkan keindahan alam.

Ketua STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Dr. I Ketut Suparta, ST., M.Si dalam kesempatan wawancara menjelaskan bahwa pentingnya Upanayana bagi civitas akademik  STAH DS memiliki makna sebagai inisiasi spritual karena upanayana dianggap sebagai sebuah spritual dimana anak secara resmi memasuki tahap belajar dan menjalani kehidupan seseorang menjadi mahasiswa di kampus STAH DS Sulteng, penerimaan Sutra Brahmana selama upacara, anak menerima benang suci yang dikenakan bahu kanan. Benang ini melambangkan koneksi spiritual dengan dewa dan menjadi simbol komitmen untuk menjalankan kehidupan manusia. Tanggung jawab sosial merupakan penanda dimulainya tanggung jawab sosial seseorang individu diharapkan mahasiswa menjalankan dharma sesuai dengan warna (kasta). Kegiatan spiritual upanayana merupakan langkah awal dalam mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan spiritual lainnya diharapkan dapat mencapai pembebasan.

Menurut I Ketut Kertayasa, S.Pd., M.Pd selaku ketua PMB tahun 2024 dalam wawancara terpisah mengatakan bahwa Upacara Upanayana yang dilakukan dengan tujuan utama adalah memurnikan jiwa karena upacara ini untuk memurnikan jiwa mahasiswa dari segala kotoran batin dan mempersiapkan diri untuk menerima pengetahuan spiritual. Berhubungan dengan guru Upanayana menciptakan ikatan antara guru dan siswa karena guru memiliki peran dalam membimbing siswa dalam perjalanan spiritualnya. Menumbuhkan nilai-nilai moral dimana upanayana bertujuan menanamkan nilai-nilai moral yang tinggi pada anak seperti kejujuran, disiplin dan rasa hormar kepada orang tua dan guru. Mempersiapkan untuk kehidupan rumah tangga karena fokus utama upanayana adalah salah satu aspek spiritual upacara mempersiapkan kehidupan rumah tangga di masa depan.

Dr. I Nyoman Suparman, ST., M.Si selaku Waket I STAH DS mengatakan bahwa Istilah Upanayana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya perkenalan. Upanayana adalah masa perkenalan peserta didik (siswa) baru di lingkungan sekolah yang dilakukan secara spiritual melalui pendekatan ritual maupun perkenalan yang bersifat fisikal dengan pengenalan kondisi sekolah secara keseluruhan. Artinya dalam pelaksanaannya ditekankan tentang proses penanaman dan pengenalan karakteristik kehidupan belajar, baik secara spiritual, psikologis, dan akademik. Di samping itu pelaksanaan Upanayana lebih mengutamakan pembinaan spiritual, maka dalam penerapannya Upanayana lebih diprioritaskan pada pemahaman ajaran agama Hindu serta bagaimana praktik mengenai ajaran agama Hindu. Kegiatan Upanayana selain memberikan beberapa program perkenalan terhadap peserta didik baru dengan lingkungan tempat belajarnya, tetapi juga sebagai upaya pendekatan spiritual atau pendekatan kerohanian. Hal ini ditandai dengan kegiatan inisiasi atau Pewintenan Saraswati yang bertujuan memohon restu ke hadapan Dewi Saraswati untuk memperoleh anugerah kekuatan lahir bhatin (wahya adhyatmika) dalam memasuki lingkungan baru pada jenjang pendidikan formal. Harapannya adalah dalam mengawali proses menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan selalu dalam tuntunan serta bimbingan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewaning pangeweruh. Diyakini dengan anugrah dari Dewi Saraswati, maka peserta didik taat dan berbhakti, sehingga dalam pembelajaran maupun praktik keagamaan dan kegiatan pembelajaran lainnya selalu berhasil, sukses, mendapatkan tuntunan sinar suci dan terbebas dari segala rintangan.

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui upacara upanayana ini, yaitu pembersihan dan penyucian diri secara lahir dan batin, maka secara umum jalannya upacara upanayana dilaksanakan sebagai berikut :

Upacara ini diawali dengan melaksanakan pembersihan lahir seperti menyapu, menyingkirkan alat-alat yang tidak perlu, misalnya ada sisa upakara-upakara yang masih tertinggal dan membenarkan letak-letak sarana yang ada pada tempat-tempat suci dilingkungan pura, tempat pelaksanaan upacara upanayana. Setelah itu dilanjutkan dengan memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai tempat mensethanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang akan dihadirkan untuk dipuja. Kemudian dilanjutkan dengan upacara penyucian terhadap palinggih tadi dengan menghaturkan upakara-upakara berbentuk banten. Setelah selesai upacara pembersihan dan penyucian ini, dilanjutkan dengan mensthanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang dihadirkan, misalnya kalau upacara upanayana itu dilaksanakan di pura puseh, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa Brahma disthanakan dulu di palinggih meru tumpang tuju atau pada palinggih yang diperuntukkan beliau. 

Kalau dipura desa atau segara, manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa wisnu disthanakan pada palinggih gedong dan atau kalau dilaksanakan di pura dalem, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa siwa disthanakan dipalinggih gedong. Apabila upanayana dilaksanakan dipamerajan maka Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang berfungsi sebagai Batara Hyang Guru disthanakan dulu di palinggih kamulan. Selesai mensthanakan, barulah dilanjutkan dengan mempersembahkan upakara-upakaranya, mulai dari sanggah tutuan atau sanggah surya kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifesatasinya sebagai Siwa Raditya (dewanya matahari), dengan tujuan mohon agar beliau menjadikan saksi dalam penyelenggaraan upacara upanayana, sehingga upacara berjalan dengan tertib, lancar dan benar.

Berikutnya dilanjutkan dengan upacara upanayana, yang diawali dengan melukat yaitu pembersighan diri dari yang akan di upanayana dengan saran air kelapa muda (klungah). Kalau tingkat upacaranya kecil, mempergunakan salah satu dari lima jenis kelapa yaitu (kelapa bulan, sudamala, gading, surya dan mulung).  Kalau tingkatan upacaranya madaya atau menengah mempergunakan air kelapa muda sebanyak 3(tiga) jenis, dan kalau tingkatan upanayana yang dilaksanakan utama maka mempergunakan lima jenis air kelapa muda tersebut. Air kelapa muda itu dijadikan tirta oleh pendeta melalui doa, puja dan mantranya, kemudian dipercikan dan di siramkan keanggota badan dari yang akan di upacarai upanayana.

Selesai malukat dilanjutkan dengan upacara mebyakala. Upacara ini bertujuan untuk memberikan pengorbanan suci kepada para butha kala, agar tidak mengganggu jalannya upacara upanayana yang akan dilaksanakan serta segera meninggalkan tempat upacara tersebut, untuk kembali ketempatnya yang semula. Upacara ini dipimpin oleh pendeta atau yang memimpin upacaranya dengan doa, puja dan mantranya, kemudian dilanjutkan dengan “matepung tawar” serta diahiri dengan “natab” dan “ngayab” byakala dengan arah tangan kebelakang atau samping, yang maksudnya mengantarkan dan mempersilahkan para bhuta kala itu kembali ketempat asalnya.  Selesai mebyakala dilanjutkan dengan upacara “maprayascita”, yang dipergunakan sebagai penyucian yaitu melengkapi upakara byakala. Kesucian yang diperoleh adalah dengan memohon kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para dewa, khususnya dewa nawa sanga, yang mana hal tersebut dilukiskan dengan lis sanjata. Upacara maprayascita ini memakai lis sanjata untuk memercikkan tirta sebagai sarana penyucian. 

Setelah selesai maprayascita, dilanjutkan dengan upacara “masakapan”, yaitu perkawinan dengan profesinya yang akan ditekuni dalam kehidupan selanjutnya. Mapadudusan mempergunakan sarana Api. Padudusan berasal dari kata “dus”, yang artinya mandi atau menyucikan diri dan dudus(bahasa bali) berarti menyucikan dengan asapnya api, yang di antarkan dengan doa, puja dan mantra pendeta. Api adalah sarana upakara yang berfungsi antara lain sebagai alat pembersih dan penyucian. Hal ini disebutkan dalam pustaka suci Isa Upanisad (bagian Weda Sruti), tentang ke Maha Kuasaan Tuhan/Hyang Widhi Wasa sebagai pengatur makhluk hidup.

Demikian makna upacara Padudusan sebagai upacara penyucian mempergunakan asapnya api, yang diantarkan oleh pendeta dengan kekuatan batinnya. Selesai upacara padudusan, dilanjutkan dengan upacara “marajah”, yang bertujuan untuk mencapai tingkatan yang diseburt dalam bahasa inggris “lotus”, artinya bunga teratai atau sunyata.

Melalui upacara upanayana, merupakan salah satu jalan bagi umat Hindu untuk menyucikan dirinya secara lahir dan batin dalam hal mempelajari sastra, aksara suci seperti simbul bunga lotus atau teratai, yang hidupnya bergumul dengan air dan Lumpur, namun teratai itu tidak terpengaruh oleh kotornya air dan Lumpur tempatnya hidup.

Untuk menjaga kesuciannya itu, hendaknya diperoleh dengan daya dan upaya yang suci pula, sehingga dapat dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang dipergunakan untuk Merajah atau menulisi beberapa organ tubuh dari yang di upanayana, mempergunakan sarana berupa sirih dan madu, yang dirajahkan pada :

– diantara kedua kening dengan aksara suci Yang

– di dada dengan aksara suci Dang

– di tunggir dengan aksara Bang

– di telapak tangan dengan aksara suci Tang

– di tengah lidah dengan aksara suci Ing

– di ujung lidah dengan aksara suci Ong

Selesai merajah atau menuliskan aksara-aksara suci itu, pendeta menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung, Mang dan pada lekesan siih dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa dan setelah selesai di tulisi lalu dimantrai, lalu diberikan kepada yang di upanayana untuk dimakan atau ditelan, yang mengandung simbolis, bahwa aksara suci ilmu pengetahuan untuk peningkatan dirinya menuju pada kesucian itu, sudah dimasukkan kedalam dirinya untuk dipelihara dan menjiwainya berupa kekuatan batin.

Selanjutnya setelah rangkaian upacara merajah itu selesai, dilanjutkan kemudian dengan upacara mejaya-jaya, yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa atau manifestasi yang telah dihadirkan, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik semua rangkaian upacara pembersihan dan penyucian itu. Selesai mejaya-jaya, dilanjutkan dengan memasang “siroswita” di kepalal, yaitu dengan secara melingkar pada dahinya. Siroswita adalah sarana upakara yang dibuat dari 4(empat) lembar daun alang-alang (ambengan) yang ujung-ujungnya diikatkan menjadi satu , diisi “kalpika”. Kalpika terbuat dari sehelai daun pucuk (kembang sepatu) berisi tiga macam bunga yang berwarna merah, putih, dan hitam. Ketiga warna tersebut merupakan simbollis “pengurip-urip Trimurti”. Semua pemasangan ini dipimpin oleh pendeta yang telah melaksanakan penyucian diri dengan diikuti oleh doa, puja dan mantranya. 

Pemasangan siroswita merupakan anugrah dari Hyang Widhi Wasa, telah mensucikan yang di upanayana itu secara lahir dan batin. Upacara selanjutnya adalah Sembahyang. Persembahyangan dalam upacara Upanayana ini mempergunakan sarana kwangen dengan sasari uang kepeng 11 buah, yang ditujukan kehadapan 9 Dewa sebagai wujud Dewi saraswati (penguasa ilmu pengetahuan) yang menguasai 9 penjuru mata angin (Nawa Dewata). 

Upacara persembahyangan, bertujuan untuk mendekatkan diri dengan memohon agar Hyang Widhi Wasa yang dipuja selalu dekat dan memberikan tuntunannya kepada yang di upanayana. Oleh sebab itulah maka dalam pelaksanaan sembahyang, patut dilakukan dengan cakupan tangan dari ke sepuluh jari secara rapat-rapat, sebagai simbolis pemusatan antara Panca Budhindria dan Panca Karmendria, dengan memusatkan pikiran memuja Beliau yang dihadirkan, untuk dipuja secara lahir dan batin.

Setelah Upacara persembahyangan berakhir, dilanjutkan dengan upacara “matirta”, yang bertujuan untuk memohon air suci/tirta kehadapan Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya. Tirta adalah air hening yang telah disucikan secara lahir dan batin. Secara lahir dalam proses pembuatannya melalui “Ngukup”, yaitu dengan membakar beberapa sarana pengukupan, yang asapnya diarahkan kedalam periuk tempat tirta itu nantinya , seperti berbagai wangi-wangian, asep, menyan dan lain sejenisnya, sehingga tirta menjadi harum dan sedap, setelah itu secara batin dimohonkan oleh pendeta dengan puja dan mantramnya, kehadapan Hyang Widhi Wasa supaya berkekuatan. 

Tirta dipercikkan ke atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, adalah untuk mensucikan pikiran, perkataan dan perbuatan. Berikutnya dipercikkan 3 kali lagi adalah untuk diminum, agar ditempati oleh Sang Hyang Dharma, dapat membuat ketenangan dunia dan bertutur kata yang benar. Terakhir dipercikkan 3 kali lagi untuk mencuci muka, bertujuan agar menjadi suci, mendapatkan ketenangan sehingga dapat menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik dan dapat menyeramakkan dharma. 

Upacara metirta ini diakhiri dengan “mebija”. Bija adalah biji yang dimaksudkan sabagai bibit anugrah Hyang Widhi Wasa, yang dibuat dari beras bercampur air cendana, dimohon kehadapan Hyang Widhi Wasa, kemudian diberikan kepada yang di upanayana untuk dilekatkan diantara kedua keningnya secara lahir dan dimakan atau ditelan secara batin.

Rangkaian upacara selanjutnya setelah natab, adalah “mapadamel”, yaitu dengan mohon sarana upakara berupa “dodol maduparka”. Untuk dimakan atau ditelan. Dodol maduparka merupakan sarana yang utama dalam upanayana itu yang bentuknya seperti “padma” yaitu simbolis dari sthana Sang Hyang Widhi Aji Saraswati dalam diri manusia. Dengan masuknya dodol maduparka ke dalam tubuh dari yang Upanayana itu, berarti Sang Hyang Aji Saraswati sudah berada di dalam diri yang di upanayana. Dodol maduparka terbuat dari 9 macam bahan, yang merupakan bahan hidangan dari Dewata Nawa Sanga seperti :

  1. Empehan, adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa iswara
  2. Air tebu atau Gula tebu, adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Brahma
  3. Punti sasih atau pisang emas gading adalah simbol serta hidangan dari Dewa Mahadewa
  4. Madu adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Wisnu
  5. Baem warak atau Cula badak dan air adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Maheswara
  6. Uyah Uku atau Garam adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Rudra
  7. Berem atau air Tape Injin adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Sankara
  8. Empol atau Kuwud atau buah ental muda adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Sambbhu
  9. Daun Abaas adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Siwa.

Setelah semua rangkaian upacara upanayana selesai dilaksanakan, maka untuk menenangkan dan menghayati semua makna dan tujuan dari pelaksanaan semua jenis upacara-upacara tersebut, untuk nantinya dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara “brata”, yaitu tidak makan, minum dan tidur berturut-turut dari matahari terbit hingga terbenam. 

Brata tersebut bermakna untuk mengendalikan diri terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan, agar mengarah pada hal-hal yang bersifat suci dan batin. Melalui pelaksanaan brata, tuntunan-tuntunan yang telah didapatkan dapat lebih ditingkatkan untuk menghayati dan mengamalkan swadharmanya. Dalam tuntunan pustaka suci Sarasamuccaya dalam sloka 306 yang berbunyi sebagai berikut:

Kunang laksana sang sadhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan ininda, tan kataman krodha, pis aningun ujara kenang parusa wacana, langgeng dhirahning manah nira”

Artinya

“Adapun prilaku orang yang sadhu, tidak gembira jika dipuji, jika dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan mengucapkan kata-kata kasar, sebaiknya selalu tetap teguh pikirannya”.

Nah, Demikian Pelaksaan Pengertian, Makna dan fungsi Upanayana diatas. Kendati demikian runtutan tersebut masih sering mengalami perubahan karena Desa Kala Patra. Namun jangan Kwatir karena didalam Hindu perbedaan bukan suatu masalah tetapi yang paling utama makna dan kepercayaan yang tulus untuk melakukan sesuatu.

 

   

Bagikan artikel ini:

1 Komentar

"Sukses selalu untuk kita semua????"
20 Sep 2024 14:07 Ni Wayan Lisa Wisnantari

Beri Komentar

Pimpinan
Dr. I Ketut Suparta, S.T., M.Si

- Ketua Perguruan Tinggi -

OM Swastyastu, Selamat datang di official website STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah. STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah sebagai Perguruan...

Berlangganan
Banner